WELCOME

WELCOME

Kekayaan Alam Sulawesi Tenggara


Sumber Daya Alam Provinsi Sulawesi Tenggara





CetakPDF
sulawesi_tenggara.png
Potensi sumberdaya alam sangat bervariasi, antara lain sektor pertanian, kehutanan, kelautan dan perikanan, peternakan dan perkebunan. Luas total sawah yang menggunakan sistem pengairan seluas 70.726 ha, terdiri dari sawah berpengairan teknis seluas 24.744 ha, berpengairan setengah teknis seluas 20.163 ha, berpengairan sederhana PU seluas 10.460 ha, berpengairan irigasi desa seluas 15.359 ha. Luas total sawah yang menggunakan sistem tadah hujan seluas 13.858 ha, sistem pasang surut seluas 2.211 ha, dan sistim pengairan lainnya seluas 1.212 ha.
Produksi yang dihasilkan dari lahan beririgasi teknis dan non irigasi teknis sebesar 57.943 ton/tahun dengan luas area/panen 16.253 ha. Luas lahan jagung 6A8 ha dengan tingkat produksi mencapai 9.860 ton/ tahun. Luas lahan ubi jalar sebesar 3.960 ha dengan tingkat produksi 142.620 ton/tahun. Luas lahan ubi kayu 11.770 ha dengan tingkat produksi 4.965 ton/tahun.
Di sektor kehutanan, ada 5 hutan suaka alam, 42 hutan lindung dan 52 hutan cagar budaya. Luas kawasan hutan seluruhnya 1.061.270 ha (40,82%). Luas lahan kritis pada 2005 mencapai 1.202.040 ha, Hasil hutan terbagi berdasarkan jenis hutan, yaitu hasil hutan Non HPH, dan hasil hutan ikutan. Hasil hutan non HPH pada 2004 berbentuk kayu bulat dengan total produksi 61.855,79 ton, kayu gergajian total produksi 953.94 m³ dan kayu olahan mencapai 9.539 ton. Sedangkan hasil hutan ikutan adalah rotan dengan produksi mencapai 14.861.82 m³.
Sektor kelautan dan perikanan merupakan sumber daya alam yang potensial. Pada lokasi penangkapan ikan berpotensi mencapai sebesar 250.000 ton/tahun. Tingkat pemanfaatan pada saat ini banyak 157.479 ton/tahun (±63%) dengan jenis produksi antara lain ikan layang, kembung, lemuru, ikan merah, tenggiri, dan kerapu.
Pada perairan laut Banda, Laut Flores, Teluk Bone, dan Teluk Tomini (perairan ZEE) potensi ikan mencapai 77.500 ton/tahun dan ikan cakafang 38.670 ton/tahun.
Sektor peternakan didominasi oleh ternak sapi, kambing, domba, babi, dan itik. Populasi sapi potong pada 2005 sebanyak 212.000 ekor, jumlah pemotongan pertahun mencapai 24.020 ekor dan pertumbuhan populasi mencapai 2%. Pada hewan ternak kecil, jumlah populasi kambing tahun 2005 adalah 90.089 ekor, domba sebanyak 240 ekor dan babi mencapai 27.760 ekor.
Hewan unggas, antara lain ayam buras populasinya mencapai 7.431.140 ekor dan ayam petelur 40.820 ekor. Jumlah peternak mancapai 443.600 ton. Jumlah populasi ayam pedaging 810.000 ekor dengan jumlah peternak 232 orang. Rata-rata produksi pertahun daging yang dihasilkan sebanyak 648.560 ton perbulan.
Sektor perkebunan didominasi oleh tanaman kopi, kelapa sawit, kakao, lada, vanili, tebu dan jambu mete. Luas areal perkebunan kopi pada 2005 adalah 10.541 ha dengan jumlah produksi 3.587 ton pertahun. Luas areal perkebunan kelapa sawit mencapai 3.602 ha, perkebunan kakao seluas 175.349 ha dengan jumlah produksi 110.521 ton pertahun. Luas perkebunan lada 12.3274 ha dengan jumlah produksi 2.851 ton pertahun, perkebunan vanili 1.280 ha dengan jumlah produksi 18 ton pertahun dan jambu mete luas areal 119.659 ha dengan jumlah produksi mencapai 34.034 ton.
Sumber daya alam yang juga potensial adalah sektor pertambangan seperti aspal, marmer dan biji nikel. Lokasi penyebaran aspal di Kabupaten Biton dan Kabupaten Muna. Luas areal pertambangan aspal dikedua kabupaten itu sebesar 13.003,67 ha dengan jumlah cadangan potensi/deposit mencapai 680.747.000 ton, Pada jenis tambang batu marmer, lokasi penyebarannya di Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, dan Kabupaten Kolaka dengan luas areal seluruhnya 189.082 ha dengan jumlah potensi/deposit mencapai 206.237.000.000 m³. Sedangkan biji nikel, produksinya menurut data tahun 2005 mencapai 1.426.672 ton.

Potensi Tambang Sulawesi Tenggara dalam Kepungan Investor




Gambar kegiatan eksplorasi tambang nikel di Pulau Lemo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara. foto: yoshasrul


Sektor pertambangan provinsi Sulawesi Tenggara cukup potensial dan menjadi perhatian investor nasional maupun asing yang bergerak di bidang pertambangan. Sulawesi Tenggara memiliki kandungan tambang yang sangat potensial dan telah banyak perusahaan yang telah melakukan eksplorasi utamanya kabupaten Buton, Konawe, Konawe Utara, dan kabupaten lain di Sulawesi Tenggara. Hal ini membuktikan bahwa Sulawesi Tenggara memilki potensi pertambangan yang dapat diandalkan, namun belum dioptimalkan pemanfaatannya.

Potensi pertambangan yang dimiliki oleh Sulawesi Tenggara diantaranya adalah Tambang aspal di Kabupaten Buton, Tambang nikel di kabupaten Kolaka, Konawe Utara dan Konawe, potensi tambang marmer, batu granit dan krom tersebar di beberapa kabupaten di Sulawesi Tenggara dan untuk potensi tambang minyak di Kabupaten Buton Utara dan Buton. Khusus untuk tambang aspal, beberapa perusahaan memegang kuasa pertambangan (KP) untuk melakukan eksplorasi.

Herry Asiku Ketua Kadin Provinsi Sulawesi Tenggara mengharapkan para pemegang Kuasa Pertambangan sebaiknya tidak terlalu lama melakukan eksplorasi yang sampai bertahun tahun lamanya dan disarankan tahap eksplorasi cukup dalam 1 sampai 3 tahun lamanya dan setelah itu telah dapat melakukan eksploitasi.

Ketertarikan investor cukup banyak untuk berinvestasi di sektor pertambangan Sulawesi Tenggara, pemerintah daerah dapat memberikan dukungan bagi investor dengan membangun sarana dan prasrana yang dibutuhkan investor, seperti jalan, jembatan dan pelabuhan dan lainnya, serta diharapkan dapat mempermudah dan mempercepat tahap eksploitasi tambang dan pada saat kegiatan investasi mulai dilaksanakan sarana yang dibutuhkan diupayakan dapat tersedia.

Kadin Sulawesi Tenggara juga mengharapkan perusahaan yang akan melakukan eksploitasi dapat bermitra dengan pengusaha lokal Sultra dan hal ini dimaksudkan agar terjadi proses alih teknologi di sektor pertambangan. Kehadiran investasi di suatu daerah juga diharapkan akan membuka lapangan kerja baru dan masyarakat diharapkan dapat memahami bahwa untuk melakukan investasi di bidang pertambangan, terdapat prosedur standar yang harus diikuti dan untuk pengendalian dan pengelolaan lingkungan di sekitar tambang tetap merupakan perhatian utama.

Jejak Sejarah Pertambangan Sultra
Seperti diketahui, sejarah pertambangan nikel di Kabupaten Kolaka (sebagai mana diulas Harian Kompas) bermula pada tahun 1909 EC Abendanon, seorang ahli geolog asal Belanda, menemukan bijih nikel di Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Eksplorasi bijih nikel sendiri baru dilaksanakan pada tahun 1934 oleh Oost Borneo Maatschappij (OBM) dan Bone Tole Maatschappij.

Pengapalan pertama 150.000 ton hasil tambang itu dilakukan OBM empat tahun kemudian ke negara Jepang. Nikel dimanfaatkan sebagai penyalut karena tahan karat dan keras. Percampuran antara nikel dengan tembaga misalnya, digunakan untuk membuat sendok dan garpu.

Dalam perkembangan sejarah, sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 1960 dan Undang-Undang (UU) Pertambangan Nomor 37 Tahun 1960, Pemerintah RI mengambilalih penambangan tersebut dan berdirilah PT Pertambangan Nikel Indonesia (PNI). Penambangan logam putih berlambang kimia Ni ini, kemudian terbukti memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional. Saat Sultra berupaya menjadi daerah otonom yang lepas dari Provinsi Sulawesi Selatan (Sulsel), sumber daya alam Kabupaten Kolaka itu diyakini mampu menjadi sumber ekonomi untuk mengelola rumah tangga sendiri.

Wilayah di jazirah tenggara Pulau Sulawesi itu kemudian ditetapkan menjadi provinsi baru, melalui UU No 13/1964. Dalam logo provinsi yang berhari jadi tanggal 27 April ini terdapat warna coklat sebagai lambang tanah yang mengandung nikel di Kabupaten Kolaka. Waktu terus bergulir. PT Per-tambangan Nikel Indonesia di-merger dengan enam perusahaan negara lainnya seperti PN Logam Mulia pada 5 Juli 1968 dan berubah menjadi PT Aneka Tambang. Areal kuasa pertambangan di Pomalaa ini-yang mencatatkan sahamnya di pasar modal pada tahun 1997-luasnya 8.314 hektar. Selain bijih nikel, perusahaan ini juga memproduksi feronikel atau feni yang merupakan paduan logam antara nikel dan besi (fero).

Tahun 2008 dihasilkan feronikel sekitar 10.000 ton nikel dan sekitar tiga juta wmt (wet metric ton) bijih nikel. Bijih nikel dipasarkan ke Je-pang dan Australia. Sedangkan feronikel dalam bentuk batangan logam atau ingot dijual ke negara Jerman, Inggris, Belgia, dan Jepang. Harga jualnya ber-dasarkan pada harga logam internasional yang mengacu pada London Metals Exchange (LME). Feronikel hasil penambangan perusahaan yang ber-kantor pusat di Jakarta ini, tahun lalu dihargai 3,73 dollar Amerika Serikat (AS) per pon. Sedangkan untuk bijih nikel tergantung pada tinggi rendah kadarnya.

Layaknya produk tambang yang memiliki nilai jual tinggi seperti minyak bumi dan emas, negara lalu mengklaim nikel sebagai miliknya. Tidak mengherankan bila hasil penjualan ke-kayaan daerah berlambang burung raksasa ini lebih menggembungkan pundi-pundi uang pemerintah pusat dibandingkan kas daerahnya sendiri. Usaha pertambangan dan penggalian berada di peringkat keempat dari sembilan lapangan usaha yang ada.

Kontribu-sinya pada tahun 2000 sekitar Rp 163 milyar atau 8,66 persen dari seluruh kegiatan ekonomi senilai Rp 1,9 trilyun.Meskipun begitu, harus diakui, kehadiran badan usaha berusia 33 tahun ini menimbulkan dampak positif bagi masyarakat sekitar. Dari kegiatan perusahaan ini di Pomalaa, setiap bulan kas daerah menerima pajak pemanfaatan air bawah tanah dan per-mukaan rata-rata Rp 30 juta. Jumlah kas juga bertambah dari perolehan pajak penerangan jalan sebesar Rp 100 juta per bulan.

Meskipun memiliki bijih nikel berkualitas ekspor, bahan tambang ini tidak lantas menjadi usaha terbesar Kolaka. Pertanian merupakan lapangan usaha terbesar masyarakat kabupaten di bagian barat Provinsi Sulawesi Tenggara ini. Sektor ini mampu menyerap 76.734 orang tenaga kerja. Total kegiatan ekonomi yang dihasilkan tahun 2000 besarnya Rp 765,2 milyar. Dari jumlah itu, separuhnya diperoleh dari kegiatan usaha di bidang perkebunan. Lahan perkebunan kabupaten yang terdiri dari pegunungan dan bukit yang memanjang dari utara ke selatan, terbanyak di-gunakan untuk areal tanaman kakao.

Sayangnya harga jual kakao atau kokoa-sebutan lain untuk tanaman cokelat-tidak stabil. Setelah sempat mencapai harga Rp 28.000 per kilogram pada tahun 1998, harga kakao jatuh. Harga per kilogram tahun 1999 turun enam ribu rupiah. Setahun kemudian menjadi dua belas ribu rupiah per kilogram dan tahun 2001 hanya Rp 8.000.

Penurunan ini ditengarai karena berkurangnya permintaan akan komoditas kakao, atau dikarenakan ulah para pedagang yang kebanyakan datang dari Makassar dan Surabaya untuk memperbanyak keuntungan. Mereka membeli langsung hasil kebun itu dari para petani.





SULAWESI TENGGARA PALING KAYA....


Gubernur Sultra, Nur Alam berdiri dengan gagahnya memberikan Konfrensi Pers di Podium Presiden. “Bijih nikel yang terkandung di wilayahnya sebanyak 97, 4 miliar ton. Bila dikonversikan dengan rupiah bijih nikel tersebut seharga 48 ribu triliun.
Koran pagi, Kendari Pos kali ini langsung saya baca. Pernyataan Nur Alam sungguh menggembirakan seluruh rakyat Indonesia. Tidak hanya rakyat Sultra saja yang bangga, ternyata di tengah carut marut kasus - kasus hukum yang belum terungkap, yang merugikan negara ratusan trilyun rupiah, kekayaan negeri ini belum habis. Coba bayangkan, 48 ribu trilyun rupiah. Kalau kekayaan alam tersebut dikelola sesuai dengan mandat pasal 33 UUD 1945, pasal 3 pasti seluruh rakyat Sultra mentas dari kemiskinan. Bisa jadi Sutra menjadi provinsi paling kaya di Indonesia. Satu jenis tambang nikel saja sudah puluhan trilyun rupiah. Jenis tambang lainnya seperti emas yang nilainya lebih tinggi juga tersedia di Sulawesi Tenggara. Mau tahu berapa nilainya?
Menurut Nur Alam seperti yang diberitakan di Kendari Pos, potensi sumber daya alam yang dimiliki Sultra butuh waktu 200 tahun agar bisa habis. Selain bijih nikel, Sultra juga kaya bijih emas. Ada potensi 1125 ribu juta ton yang belum dikelola. Jika dikonversikan dengan harga 300 ribu per gram sesuai dengan harga sekarang, nilainya berkisar 337 ribu trilyun rupiah. Coba bayangkan, betapa kayanya Sultra. Kalkulator yang saya punya saja tak mampu menghitung jumlah nolnya.  Saya tak mau pusing dan percaya saja dengan peryataan Nur Alam yang sebenarnya ingin menegaskan, Sultra paling kaya dan minta restu Pak Beye untuk merealisasikan dan menjadikan Sultra sebagai lahan investasi pertambangan.
Tanda-tanda mengalirnya investai pertambangan di Sultra sebenarnya sudah bisa dirasakan. Setiap bulan singgah di Kendari, selalu saja ada bule dari berbagai negara di hotel - hotel bintang tiga dan empat. Lama tinggal mereka tidak satu atau dua hari saja. Bisa sampai satu minggu bahkan bulan selama tinggal di Kendari. Wilayah tambang tersebar di beberapa wilayah seperti Konawe, Kolaka, Bombana dan Buton.
Saya tidak bisa membayangkan masa depan Sultra, yang pasti Kendari akan menjadi kota metropolitan jika pertambangan menjadi andalan utama Sultra. Hanya saja ada satu hal yang sampai sekarang kurang bisa dimengerti. Belajar dari sejarah pertambangan aspal di Buton yang sudah puluhan tahun dikeruk oleh para investor, ternyata tidak meninggalkan jejaknya di wilayah sekitarnya. Buton Utara dan sekitarnya hanya mendapatkan sisa-sisa aspal Buton yang sebagian besar digunakan untuk pembangunan jalan raya di Jawa.
Saya tidak tahu dengan industri bijih nikel dan emas nantinya. Melihat beberapa perusahaan tambang sejenis yang sudah ada di Indonesia, biasanya investor asing yang menangguk untungnya. Semua tahu, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Sayang mandat itu belum juga berlaku di negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Saya hanya bisa berkata, harapan itu masih ada, tergantung siapa pemimpinnya. Semoga saja benar adanya, bagaimana pendapat Anda?